Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus
lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih
dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah
menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk
perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya
finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia
melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai
terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating
teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih
dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah
jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan,
penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham
Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's
menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini
menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul
pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus
menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah,
dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah,
menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan
kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat
Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur
pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
No comments:
Post a Comment